Senin, 14 September 2015

A Miracle for Bianca

"Lalu, Jin itu pun berkata: Aku akan mengabulkan tiga permintaanmu, Aladin."

"Kenapa hanya tiga?"

Si mungil Rio yang baru berumur tiga setengah tahun dan sedang duduk di pangkuan ibunya itu pun bertanya heran. Saat itu, ibunya sedang membacakan dongeng tentang Aladin sebagai pengantar tidur.

"Karena Jin hanya mampu mengabulkan tiga permintaan," jawab ibu nya kalem.

Sejak malam itu, Rio-bocah yang cenderung berpikir kritis itu tidak menyukai si Jin botol yang hanya bisa mengabulkan tiga permintaan.

Menurutnya, Jin botol tidak lebih hebat dari Ayah dan Ibunya yang mampu mengabulkan apapun keinginannya.

Sejak lahir, kebutuhan Rio tak pernah berkekurangan karena kedua orang tuanya yang hidup sangat bercukupan. Kemampuan otaknya pun tak perlu diragukan lagi. Namun ada satu pertanyaan yang belum bisa dijawabnya.

"Kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?"

Satu pertanyaan sederhana itu terlontar oleh guru di sekolahnya. Saat itu, Rio yang masih berseragam merah-putih mengerutkan keningnya dan berpikir keras.

Ingin jadi apa dia kelak di masa depan?

Ia mengulangi pertanyaan itu sendiri dalam benaknya.

Ia ingin berkeliling dunia, menaiki kapal pesiar, memiliki pesawat pribadi, dan lain-lain. Tapi apa itu semua patut disebut cita-cita?

Rio enggan bertanya kepada orang tuanya karena menurutnya hal tersebut menyangkut masalah pribadi yang hanya bisa diselesaikannya seorang diri.

Namun hingga Rio mengganti warna seragamnya menjadi putih-biru pun ia belum menemukan jawabannya.

"Kamu masih belum tahu cita-citamu?"

Bianca, teman sekelasnya bertanya saat mereka mengisi kuisioner sekolah.

Rio pun menggeleng pasrah,membuat gadis itu terperangah.

"Hei, itu hanya perkara sederhana!"

Bianca adalah murid yang pandai. Keduanya selalu bergantian mengisi peringkat kelas setiap semesternya. Tapi Bianca tak sekritis Rio. Gadis itu lebih realistis dan memiliki rasa sosial yang lebih tinggi.

"Memangnya apa cita-citamu?" Rio bertanya ingin tahu.

Bianca menerawang sejenak. "Astronot!" serunya antusias.

Kening Rio berkerut heran. "Kenapa mau jadi astronot?"

"Supaya bisa ke luar angkasa!" jawab Bianca dengan senyum lebar.

Rio tidak mengerti dengan jalan pikir Bianca. Bukankah untuk bisa pergi ke luar angkasa tidak perlu repot-repot menjadi seorang astronot?

Rio bisa meminta ayahnya menyewa seorang pemilik pesawat ruang angkasa untuk membawanya menuju Mars.

Begitu SMA, Rio akhirnya memutuskan untuk sekolah ke luar negeri hingga mencapai kesuksesan di negeri Belanda tanpa memikirkan lagi perkara cita-cita, walaupun ia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat.

Di sela-sela kesibukannya, Rio mendapat pesan dari grup alumni SMP nya yang mengabarkan tentang acara reuni di Indonesia.

Tiba-tiba saja Rio teringat akan Bianca. Apa gadis itu berhasil menjadi astronot?

Rio sudah tak sabar untuk mengetahuinya dan segera membeli tiket pesawat menuju Indonesia.

Begitu tiba di acara reuni,Rio disambut hangat oleh teman-temannya. Namun tidak ada Bianca disana. Lelah mencari, Rio akhirnya bertanya ke salah satu temannya.

"Hei, dimana Bianca?"

"Dia tidak bisa datang kemari."

"Oh ya? Kenapa?"

Teman Rio itu menatapnya tak percaya. "Kamu tidak tahu?"

"Tahu apa?" Rio balik bertanya.

"Bianca mengalami gangguan penglihatan. Dia... buta."

Raut wajah Rio berubah seketika. Terkejut dan tak percaya. Semua teman-temannya juga bereaksi seperti itu saat mengetahuinya.

"Kamu tahu sekarang Bianca ada dimana?:

"Kata teman-teman yang lain, sekarang dia jadi aktivis di sebuah panti tuna netra.:

Berbekal jawaban Wilson, tak sulit bagi Rio untuk segera mencari tahu keberadaan Bianca.

Dengan keyakinan teguh, Rio pun melangkah masuk ke dalam panti yang memiliki halaman luas tersebut.

"Selamat pagi." Rio menyapa seorang wanita paruh baya yang kemudian memperkenalkan diri sebagai pemilik panti Pelangi tersebut.

"Jadi, kunjungan Pak Rio kemari adalah untuk bertemu Bianca?" tanya Bu Sinta.

"Iya, Bu. Benarkah Bianca menjadi aktivis disini?"

"Benar, Pak"jawab Bu Sinta saat membimbing Rio ke sebuah ruangan.

Di sana, sudah ada seorang gadis yang tersenyum tulus mengajarkan huruf Braile ke beberapa bocah tuna netra lainnya.

Itu lah Bianca. Wajah cerianya masih sama seperti dulu. Hanya saja,sorotan mata itu telah berubah.

"Bi, ini ada tamu. Katanya teman SMP mu. Namanya Rio." Bu Sinta berbisik di telinga Bianca.

Gadis itu awalnya terkejut. Namun senyumnya perlahan mengembang.

"Hai, Rio!" Suara ceria Bianca masih sama seperti dulu. Hal tersebut membuat hati Rio terasa hangat.

***

"Jadi, sudah berapa lama kamu tinggal disini?"

Saat ini Rio dan Bianca sedang duduk bersama di bangku taman belakang panti.

"Mungkin sekitar tiga tahun."

"Kalau boleh tahu, karena apa kamu...?"

Bianca tersenyum, paham benar dengan arah pertanyaan Rio. "Aku mengalami kecelakaan. Secara tidak sengaja."

Rio mendengarnya dengan kepala tertunduk. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika hal ini dapat menimpa Bianca.

"Aku berharap bisa menemuimu di acara reuni. Dan mengajakmu adu cerdas cermat," hibur Rio hingga keduanya tertawa.

Hening sejenak sebelum Bianca akhirnya melontarkan sebuah pertanyaan kepada Rio. "Jadi, kamu sudah tahu cita-citamu?"

Pertanyaan itu membuat Rio tertegun. Dan dengan helaan napas putus asa, ia pun menjawab, "Belum."

Bianca terlihat tak percaya. "Sampai sekarang?"

"Ya," jawab Rio apa adanya. Dia memang sudah mencapai kesuksesan. Lalu apa? Bukan hidup seperti itu yang diinginkannya. "Kamu sendiri?" Rio menyesali pertanyaannya yang mungkin akan menyinggung perasaan Bianca.

Namun raut wajah Bianca terlihat biasa saja. "Apa iya seorang yang buta menjadi astronot?"

Rio menggaruk keningnya salah tingkah. Lalu perlahan,merangkul pundak Bianca. "Sabar ya, Bi."

Bianca tetap tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak akan menyerah. Seandainya saja Jin di cerita Aladin itu nyata, mungkin aku sudah minta permohonan sama dia."

Rio langsung teringat akan dongeng yang pernah dibacakan oleh ibunya. Saat itu juga Rio seakan tersadar bahwa saat ini, kedua orang tuanya tak lebih hebat dari Jin yang hanya mampu mengabulkan tiga permintaan tersebut.

"Kalau diberi tiga permohonan, apa yang akan kau minta?" Rio melontarkan pertanyaan tersebut secara tak sadar.

"Aku tidak perlu tiga, Rio. Satu pun cukup untuk memohon sebuah keajaiban."

Selasa, 25 Agustus 2015

Putri

"Siapa kau?"

"Kau... tidak mengenalku?"

Putri divonis mengalami gegar otak akibat kecelakaan yang dialaminya.

***

Beberapa hari yang lalu, aku duduk dengan gelisah saat menunggu di depan ruang operasi. Seseorang yang kusayangi sedang berjuang di dalam sana dan saat itu aku berusaha untuk tetap tenang, tapi pikiran kacau membuatku tidak bisa berkonsentrasi.

Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang berlari tergesa mendekati ruang operasi. Aku menoleh dan melihat Putra tiba duluan di hadapanku sambil terengah-engah.

"Bagaimana keadaan Putri?" gumamnya dengan suara bergetar. Ia menarikku berdiri sambil memegang kedua pundakku.

"Di-dia sedang dioperasi," jawabku terbata. Aku tahu Putra sangat menyayangi adiknya. Sangat. Bahkan melebihi diriku.

Tak lama, seorang wanita paruh baya melangkah cepat dengan wajah yang tak kalah cemasnya. Ibu Putri langsung menghampiriku dan menanyakan hal yang sama.

Aku berusaha sebisa mungkin menenangkan wanita yang siap untuk menangis dan terlihat rapuh itu.

Putra berdiri persis di depan pintu ruang operasi dengan gelisah.Jika mau ia bisa saja mendobrak masuk ke dalam untuk melihat keadaan adiknya.

:Semoga semua baik-baik saja." Aku menggumamkan kata itu berulang-ulang dalam hati sambil menatap pintu ruang operasi dengan cemas.

Satu jam yang lalu, aku baru saja menuruni undakan di depan tempatku bekerja dan sudah mengenakan helm saat ponselku tiba-tiba berdering. Senyumku langsung merekah saat melihat nama Putri tertera di layar. Aku pun tak sabar untuk segera menjawab panggilan tersebut.

"Halo, dengan Bapak Radit?"

Senyumku seketika menghilang saat mendengar pertanyaan seorang pria di seberang sana.

"Ya, saya Radit, "jawabku sedikit curiga sekaligus penasaran dengan pria asing yang menelepon dari ponsel Putri.

"Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa mobil yang ditumpangi Ibu Putri baru saja mengalami kecelakaan..."

Seketika telingaku tiba-tiba berdengung hingga tidak dapat mendengar dengan selesai penjelasan sang polisi. Pikiranku langsung melayang kepada sosok kekasihku tersebut dan adrenalinku meningkat secara cepat.

"Putri!" Aku menjerit dalam hati. Napas keluar-masuk dari hidungku secara cepat. "Dimana dia sekarang?"

Setelah mendapatkan jawaban, aku segera melajukan motorku menuju rumah sakit umum.

***

Ponsel Putri yang sedikit pecah di beberapa bagian itu kini berada dalam genggaman Putra yang sedang memejamkan mata sembari memijit pelipisnya. Ia dan ibunya masih menunggu dengan cemas sambil duduk di kursi tunggu.

Kini giliranku yang berdiri sambil bersandar pada dinding lorong. Semua orang menunggu dengan cemas. Tidak ada yang berbicara. Hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Pikiran yang dipenuhi oleh satu nama, yaitu Putri.

Minggu, 21 Juni 2015

Dunia Kertas



Dunia ini tidaklah bulat.

Oh, bukan. Bumi yang tidak bulat.

Ah, apapun itu!

Kututup segera buku pelajaran yang berisi ilmu tentang lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di permukaan Bumi itu.

Di meja sebelah, sebungkus permen terakhir sedang menungguku sementara permen-permen lain sudah lenyap ke dalam mulutku, menyisakan beberpa lembar plastik pembungkusnya yang kubiarkan berhamburan di atas meja. Padahal sebuah tong sampah bulat sudah tersedia di sudut rumah. Aku nya saja yang terlalu malas untuk mebuangnya.

Sampai akhirnya ibu lah yang menegurku. “Anto, sampai kapan ibu harus terus mengingatkanmu untuk membuang sampah pada tempatnya?”

Kakiku sudah tiba di ambang pintu kamar saat mendengar omelan ibu untuk yang ke sekian kalinya mengenai sampah. Ibu bukan menteri lingkungan. Hanya seorang ibu rumah tangga cerewet yang terlalu peduli dengan lingkungan. Aku yang tadinya hendak membaringkan tubuh di atas ranjang akibat kelelahan belajar pun memberengut.

“Besok pagi kan bisa,” kelitku.

Ekor mataku melihat kalau ibu melotot begitu mendengar jawabanku. Dan karena takut sesuatu yang buruk akan terjadi, akhirnya aku pun mengalah. Dengan cepat kusapu bersih bungkus-bungkus permen itu dari atas meja dan segera memasukkannya ke tong sampah.

Setelah itu baru lah wajah ibu kembali setenang malaikat. Ibu memang seperti itu. Semua ibu memang cerewet. Tapi ibu ku yang paling cerewet.

Perkara tadi bukan hanya terjadi sekali. Dan aku bukan satu-satunya korban kecerewatan ibu. Adik perempuanku-Dina sampai terbiasa untuk menyimpan sampah tisu ataupun bungkus permen di dalam tasnya sebelum menemukan tong sampah. Kadang Dina bisa saja kelupaan dan akhirnya sampah itu membusuk di dalam tasnya. Aku bisa tahu karena kami sering mengeluh dan meratapi nasib bersama. Entah apa keuntungannya bagi ibu-bagi kami, untuk sepeduli itu terhadap sampah maupun lingkungan.

Ibu sering bilang, “Sampah itu bisa membuat kekacauan jika dibiarkan sembarangan.”

Terkadang ibu juga akan bercerita tentang Dunia Kertas. Seperti malam ini.

“Bagaimana kalau sampah itu tiba-tiba bisa menggandakan diri jika kau biarkan begitu saja di atas meja dan akhirnya bungkus-bungkus permen itu membentuk parasit yang mengerikan?”

Ibu bukan seorang penulis fiksi. Ia hanya wanita yang biasa menonton sinetron. Namun terkadang ceritanya mampu membuat siapa pun yang mendengarnya bergidik ngeri. Malam itu aku sukses bermimpi tentang bungkus permen yang menempeli sekujur tubuhku dan akhirnya membuatku terkena kelainan kulit.

Mimpi itu tidak seberapa parah dibandingkan mimpi Ayah tentang batang rokok bekas yang menumpuk di sungai-sungai lalu membusuk, berbau dan akhirnya menjadi polusi penyebab penyakit mematikan. Ayam-ayam mati, tumbuh-tumbuhan layu, dan populasi manusia mulai berkurang.

Jika sudah bermimpi seperti itu, nasehat ibu akan kembali terngiang di telinga kami. Kami tidak ingin sampah mangacaukan kehidupan kami. Aku bertekad akan selalu mebuang sampah pada tempatnya. Bahkan terkadang aku memungut sampah milik orang lain yang tidak bertanggung jawab. Persetan apa kata dan padangan orang lain yang melihatku seperti pemulung atau sebagainya. Jika tidak di mulai dari sekarang, kapan lagi? Mau menunggu sampai alam memperingatkan kita?

Tapi tidak lah efektif jika hanya keluargaku yang bertindak. Oleh sebab itu aku mulai gencar mencanangkan aksi sosialku itu melalui media sosial. Jaman sudah canggih, dan aku tidak mau sampah mengacaukan kecanggihan itu. Lalu aku akan memulai aksiku itu dari kisah ibu tentang Dunia Kertas.

Keterangan:
Sebenarnya saya hanya ingin kita semua untuk lebih peduli terhadap lingkungan saja. Perkara sampah bukan hanya tentang bungkus permen atau batang rokok. Perkembangan jaman membuat teknologi melesat, namun juga menyisakan limbah yang tak kunjung terselesaikan permasalahannya. Mulai lah bijak dalam menggunakan barang agar tak menambah sampah di Bumi ini. Hidup ini indah jika tanpa kekacauan, bukan?
 
[Tantangan @KampusFiksi #PesanMoral]

Senin, 19 Januari 2015

Mantan Terindah

"Cinta itu bukan seperti saklar yang bisa kamu ON atau OFF seenaknya."

 

Sebaris kata itu keluar dari mulutku saat kami menghabiskan waktu bersama untuk yang terakhir kali nya di alun-alun kota. Bintang dan bulan menjadi saksi bisu dari keputusan sepasang kekasih yang kemudian memilih untuk berpisah.

 

Satu bulan telah berlalu, tapi pria itu masih tetap saja menyapaku melalui pesan manisnya. Setiap pagi, siang, maupun malam. Seakan kami tidak pernah mengalami permasalahan serius sebelumnya.

 

Terkadang aku kesal dengan sikap Aris yang sering berubah-ubah layaknya bunglon. Pria itu bisa tiba-tiba romantis, tapi tak jarang mendiamkanmu seharian tanpa alasan yang jelas.

 

Sebenarnya, apa yang dia rasakan terhadapku? Tidak mungkin cinta, bukan? Lalu apa? Aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana cinta yang sebenarnya. Apakah serumit ceritaku ini?


Tantangan @KampusFiksi #FiksiLaguku
Terinspirasi dari lagu Mantan Terindah-Raisa

Minggu, 11 Januari 2015

Dua Purnama

-Khaliffa POV-

Rambutku menggelitik geli ketika angin berhembus kencang. Mataku yang baru setengah terbuka langsung disambut silau matahri sore kala itu. Ah, rupanya aku tertidur. Di salah satu kursi tak beratap, tadinya aku mencoba membunuh waktu hingga kapal yang kutumpangi segera berlabuh. Tapi harapanku harus tertunda lebih lama lagi karena purnama belum memunculkan wujudnya di langit.

 

Kukibaskan rambut panjangku yang masih terombang-ambing angin layaknya ombak di lautan saat seseorang menghampiriku dan menyodorkan selembar selendang merah yang kukenal.

 

Aku mendongak dan mendapati seorang pria berdiri disana. “Punyamu?“

 

“Iya.” jawabku ketus seraya merebut kembali selendang yang sepertinya terbang selama aku ketiduran tadi.

 

Pria tinggi dan berkumis tipis itu menyeringai. “Tidak ada ucapan terima kasih?”

 

Aku mendengus sebal. Bukan karena teguran tadi. Tapi aku terlalu malas untuk meladeni pria asing yang kucurigai sebagai hidung belang tersebut. “Hmm, terima kasih.” jawabku sembari berdeham dan membuang muka.

 

Tanpa berkomentar lebih lanjut, pria itu akhirnya melangkah pergi. Mungkin putus asa karena tak berhasil menggoda gadis berumur tujuh belas tahun dan berparas cantik sepertiku, atau ia sedang mecari peluang lain agar dapat kesempatan untuk menemuiku lagi. Huh, membuatku semakin muak berlama-lama di atas kapal yang bergerak lamban ini.

 

Tiba-tiba perutku terasa lapar. Mungkin aku harus segera kembali ke kamar dan menemukan beberapa cemilan untuk disantap.

 

Kakiku melangkah lebar-lebar dan hentakan sepatuku mampu membuat penumpang lainnya yang sedang asyik menikmati matahari tenggelam di tepi kapal berpaling sejenak ke arahku. Termasuk si pria hidung belang tadi yang sekarang sedang menghirup nikmat sebatang rokok.

 
 

-Lutfi POV-

 

Ternyata menikmati matahari terbenam itu adalah hal yang tidak pernah membosankan. Apalagi di atas sebuah kapal besar yang angin nya membuat keringatku perlahan mengering. Meskipun sudah berlayar ribuan kali, aku tidak pernah melewatkan keindahan langit di kala senja. Suasana seperti ini akan lebih lengkap jika ditemani sebatang rokok yang hendak ku keluarkan dari saku ketika mataku tak sengaja tertuju pada sesuatu.

 

Kupungut selembar kain merah yang tadinya sibuk nenari-nari di pergelangan kakiku itu. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru dek kapal yang saat itu tak terlalu ramai dengan penumpang lain. Hanya ada beberapa pria sepertiku yang berdiri di tepi kapal, dan sisanya memilih untuk duduk-duduk di kursi yang telah disediakan sambil menyerumput secangkir kopi ataupun merokok. Lalu saat itulah tatapanku tertumbuk pada sesosok gadis yang sedang terlelap dengan rambut yang mengibas akibat angin kencang. Kemungkinan besar selendang merah tersebut adalah miliknya karena saat itu tidak ada gadis lain yang mungkin kehilangan benda seperti ini.

 

Kuputuskan untuk menghampirinya saat gadis itu terbangun dan mendongak ketika kusodorkan selendang merah tersebut. Dan tidak ada ucapan terima kasih yang kuharap akan keluar dari bibir tipisnya. Niat baikku itu malah dibalas dengan gumaman ketus dan sikap tak bersahabat, seolah-olah aku adalah seorang penjahat. Penampilanku memang urakan, tapi tak lantas menghilangkan rasa hormat seorang kaum muda terhadap pria berumur sepertiku, kan?

 

Kuputuskan untuk segera menjauh dan mungkin akan berpikir dua kali saat hendak berurusan dengan gadis angkuh sepertinya lagi.

 

-Khaliffa POV-

 

Makan malam bersama ayah bukan hal terbaik yang kuinginkan sekarang. Terlebih lagi di atas kapal yang semakin membuatku penat. Mungkin keputusanku ini salah. Memilih untuk ikut dengan ayah dan menetap di desa adalah sebuah bencana! Tapi bertahan dengan ibu yang tak layak dan tinggal di kota pun bukan solusi yang baik.

 

Aku kembali ke dek kapal, sekedar untuk menghindari ayah yang tak berhasil merubah suasana hatiku dan takjub seketika melihat indahnya purnama malam itu. Bulat sempurna dan bersinar di tengah langit yang tertutup awan gelap.

 

Suara tawa pendek seorang pria terdengar samar di telingaku. Aku menoleh ke samping dan menemukan kembali pria si pria hidung belang dengan sebatang rokok menyala yang dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengahnya. Senyuman di wajahnya seolah menambah kecurigaanku. “Anda mengikuti saya?”

 

Pria itu kembali terkekeh pelan. “Justru kamu yang mengikuti saya.”

 

Keningku berkerut heran. “Maksud Anda?”

 

Tapi pria itu hanya memiringkan kepalanya, terlihat berpikir. “Bukannya tadi sore selendangnya sudah dikembalikan? Lalu untuk apa kamu kembali kesini?”

 

“Memangnya tidak boleh?” tantangku tak mau kalah.

 

Pria itu kembali tersenyum. “Boleh saja. Tapi tempat ini lebih cocok bagi pria sepertiku untuk menghabiskan sebatang rokok.”

 

Rupanya koboi satu ini cerdik juga. “Aku hanya ingin melihat purnama. Puas?”

 

Ia mengangguk-angguk seraya menatap purnama di hadapannya. “Aku juga sedang menikmati keindahannya.”

 

AH, aku benar-benar kesal jika begini terus! “Baiklah. Anda mau saya pergi?”

 

“Tidak ada yang mengusirmu.”

 

“Lalu?”

 

“Aku hanya heran melihat gadis yang tadinya tidak tahu cara berterima kasih ternyata dapat mengagumi keindahan bulan purnama.”

 

Tunggu dulu. Pria ini sedang mengejekku, bukan?

 

“Rupanya masih ada hal-hal baik di dalam dirimu.” lanjutnya dengan nada menilai.

 

Ucapan tersebut tidaklah pantas keluar dari mulut pria asing sepertinya. Ayahku yang tidak lebih baik dalam hal mendidik saja belum pernah menilaiku seperti itu.

 

“Anda tidak berhak mengomentari gadis muda seperti saya. Paham?” Kesabaranku sudah hampir habis, namun koboi itu tetap saja tersenyum. Membuat wajahnya terlihat semakin menawan hanya dengan lengkungan tersebut.

 

“Ya. Saya memang tidak berhak. Maafkan saya.” gumamnya seraya menjatuhkan batang rokoknya dan menginjak ujungnya yang menyala hingga sulut api nya padam, lalu memungutnya kembali untuk di buang di tong sampah.

 

Semudah itu ia meminta maaf?

 

“Oh!” Pundaknya yang tadi sudah berbalik kini kembali menghadapku. “Dan terima kasih karena telah membuatku teringat dengan seorang gadis yang juga punya perangai buruk sepertimu.” Lalu langkahnya mulai menjauhiku yang termenung seorang diri di tepi kapal dengan pikiran yang tenggelam ke dalamnya lautan berkat ucapannya tadi.

 

-Lutfi POV-

 

Sungguh mirip. Dipandang dari samping pun wajah gadis selendang merah itu terlihat mirip dengan seseorang yang sedang menungguku di daratan sana. Purnama yang tadinya sudah kupandang cukup lama ternyata menarik perhatiannya juga. Tapi keangkuhan segera terlihat kembali di wajahnya saat menyadari kehadiranku. Lihat cara dia mencurigaiku. Kata-kata ketusnya malah membuatku senang. Aku terlalu rindu dengan sosoknya hingga secara tak sadar telah mengomentari hidup seorang gadis asing yang tidak kukenal tersebut. Aku pun melontarkan kata maaf sekaligus terima kasih, lalu kembali ke kamar dan menelepon seseorang.

 

“Masih ingat aku rupanya?” Tanpa ada sapaan, protes yang pertama kali terdengar itu malah membuatku tersenyum dan yakin bahwa aku telah menghubungi orang yang tepat.

 

“Iya. Aku merindukanmu, sayang.”

[Tantangan @Kampus Fiksi #KaramDalamKata]

Sabtu, 03 Januari 2015

Hujan

Hujan deras mengguyur kota malam itu. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh melewati jalan raya yang cukup sepi, diikuti sebuah mobil lainnya di belakang. Keduanya terlihat saling membalap.

 

Mobil yang berada di depan melaju terlalu cepat hingga kendaraannya tidak mampu lagi dikendalikan ketika tiba-tiba sebuah truk besar melaju dari arah yang berlawanan. Si pengemudi berusaha menghentikan mobil dengan membanting setir. Namun terlambat. Sisi kiri mobil itu terlanjur menabrak truk yang ada di hadapannya. Tabrakan beruntun pun terjadi hingga menimpa mobil kedua yang tadi berada di belakang.

 

Jalan raya itu porak poranda seketika. Sebuah truk dan dua buah mobil tersebut sudah terlihat tak berbentuk sempurna lagi. Begitu pula penumpang-penumpangnya yang tak terselamatkan.

 

Malam itu mrnjadi malam yang akan selalu ku kenang. Suara samar penelepon mengabarkan sesuatu yang buruk. Dan seakan tersengat petir di luar sana, ponsel pun terlepas dari genggamanku.

 

Hujan yang turun seakan-akan menambah kepedihan seorang insan yang ditinggal pergi sandaran hati, belahan jiwa, serta teman hidup. Bukankah dia sudah berjanji untuk pulang? Lalu mengapa wujudnya tak juga muncul bahkan hingga hujan telah berhenti?

 

Begitu banyak hal yang belum terucapkan. Belum banyak waktu yang dihabiskan bersama. Apa dia akan pergi begitu saja? Sangatlah tidak adil bagiku untuk melewati semua ini seorang diri. Menangisi fotonya yang terpajang rapi di figura hanya akan membuatku ingin lari dari kenyataan.

 

Tak bisakah waktu kuputar kembali?

 

Hujan kembali turun malam ini. Dan andai saja pertengkaran itu tidak pernah terjadi, hujan di malam kemaren tidak akan seperih sekarang. Terlalu telat untuk menyesal, tidak ada yang dapat diperbaiki. Hujan malam ini turun untuk menemaniku yang kesepian. Air mataku bahkan telah habis. Apa lagi yang kuharapkan?

 

Ponselku berdering. Kali ini terdengar jelas suara penelepon di ujung sana. Suara khasnya masuk ke telinga dan memenuhi seluruh tubuhku. Kuharap kabar baik yang akan kudengar. Tapi tiada lain dan tiada bukan hanyalah sebuah kata 'maaf'.

 

Hujan yang turun semakin deras seolah menutupi tangisanku yang pecah seketika. Hanya satu kata yang kudengar darinya hingga mampu memaksaku untuk kembali terisak.

 

Aku benci hujan. Tapi saat ini, hujan lah yang setia mendengarkan tangisanku. Di saat yang lain berusaha menguatkanku dan membantuku menjalani hari-hari ke depan, hujan hanya diam. Memberiku kesempatan untuk mengenangnya. Entah harus berterima kasih atau tidak, tapi hujan begitu berpengaruh dalam hidupku. Siap atau tidak, aku akan tetap berhadapan dengannya. Aku tidak bisa menghindarinya, bahkan jika aku mau.

 

Kuharap hujan yang selanjutnya akan membuatku bahagia hingga suaranya bukan hanya terdengar dari ponsel saja, tetapi secara langsung. Dirinya berdiri di hadapanku dengan tangan terulur yang kusambut tanpa ragu. Lalu kami pun melangkah bersama menuju cahaya terang dan tidak pernah lagi bertemu hujan.

[Tantangan #KabarDariJauh @KampusFiksi]

Kontes Fanfic The Chronicles of Audy

[Diikutkan dalam kontes fanfic The Chronicles of Audy Penerbit Haru]



The Confusing Teens

Cast:
Audy
4R (Regan, Romeo, Rex, Rafael)
Maura
Ajeng
Ayah dan Ibu Audy
Missy


***


Siapa yang tidak mengenal seorang Audy Nagisa? Seluruh warga sekolah tahu siapa aku. Bukan karena jenius ataupun menjadi juara umum. Tapi justru karena peringkat terakhir dari seluruh murid kelas sebelas.

Papan pengumuman sekolah saat ini sedang dipenuhi oleh murid-murid yang penasaran dengan nilai ujian semester. Aku yang melewati kerumunan tersebut sudah tidak begitu berminat melihat apa yang dipajang disana. Firasat mengatakan kalau namaku berada di urutan terbawah lagi.

“Selamat ya untuk peringkat satu dari bawah.” Seseorang jelas-jelas mengejekku. Aku menoleh dan mendapati Regan sedang berdiri tak jauh dariku. Kakak kelas yang cukup populer di sekolah itu ternyata masih gemar mengkonsumsi snack anak-anak. Buktinya sekarang pria yang tingginya menjulang itu sedang menggenggam sebungkus kerupuk jagung bakar. Kubalas cibirannya itu dengan wajah jutek, lalu memilih pergi.

“Au!”

Di sekolah ini cuma ada satu orang yang memanggilku seperti itu. Romeo orangnya. Pria dengan rambut terkepang kuda dan seragam urakan itu menghampiriku sambil menenteng tas di sebelah pundaknya.

“Apa?” sahutku terlanjur kesal.

“Kamu dapat peringkat akhir lagi tuh.”

Aku menghela nafas lelah. “Makasih lho infonya.”

Romeo yang lugu pun nyengir.

Tiba-tiba pundakku menegak saat melihat seseorang berjalan dari arah yang berlawanan. Pria yang kini selalu mengenakan masker untuk menutupi hidung dan mulutnya itu berjalan lurus bahkan melewatiku dan Romeo tanpa menoleh. Sedetik kemudian aku mengejarnya karena ada yang perlu kubicarakan dan terpaksa meninggalkan Romeo yang termengu.

“Rex, tunggu!”

Pria yang dimaksud menghentikan langkahnya dan perlahan menoleh.

“Kamu masih marah sama aku?”

Beberapa waktu yang lalu, aku tidak sengaja membuat perkara dengan salah satu juara umum sekolah dan murid yang terkenal antisosial itu. Rahasia Rex yang selama ini mengidap penyakit asma akhirnya terkuak olehku yang tidak sengaja menemukan inhaler miliknya di koridor sekolah. Saat itu Rex berpikir bahwa hanya aku lah yang tahu tentang penyakitnya. Dan itu masih dalam batas aman. Tapi entah bagaimana caranya, keesokan harinya Rex sudah menjadi bahan perbincangan dan sangkut pautnya dengan asma. Aku yang tidak tahu apa-apa tentu saja menjadi orang pertama yang mendapat tatapan tajam dari Rex. Padahal aku hanya bercerita pada Romeo dan tidak tahu kalau akan seperti ini jadinya.

Kembali ke saat sekarang, rupanya pertanyaanku tadi tak kunjung dijawab, sehingga mungkin saja Rex masih  belum memaafkanku.

“Apa yang salah sih kalau semua orang tahu soal penyakitmu?” Kulihat rahang Rex mengeras. Tadinya aku tidak mau membuatnya semakin kesal. Tapi sepertinya gagal.

“Menurutmu, dengan mendapat peringkat terakhir bisa membuatmu bangga?” Rex akhirnya bersuara, tapi setelah itu langsung pergi meninggalkanku yang terdiam dan terpaku menatap punggung kurus itu semkain menjauh. Walaupun prestasiku tidak tinggi-tinggi amat, tapi sepertinya aku paham bagaimana keadaan Rex saat ini. Tidak perlu jenius untuk dapat bersimpati. Mungkin penyakit asma itu membuat Rex tak nyaman atau bahkan terancam. Seorang pria juga tak ingin dianggap lemah, kan?

Setelah mendapat teguran tak langsung dari Rex tadi, aku melangkah pulang ke rumah dengan kepala tertunduk. Saat masuk ke pekarangan rumah, ibu terlihat sedang duduk santai sambil mengoleskan kepalanya dengan sebatang lidah buaya yang sudah dipotong hingga memperlihatkan sarinya.

“Lagi ngapain, Bu?” tanyaku pensaran.

Ibu mendongak dan berhenti sejenak. “Supaya ngga ketombean.”

Aku terdiam sejenak mendengar info baru tersebut dan tiba-tiba mendapat sebuah ide cemerlang. Tanpa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu, aku langsung berselancar di dunia maya untuk mencari tahu sesuatu.

Jari-jariku mengetik ‘khasiat lidah buaya’ pada kotak pencarian. Detik berikutnya, telah muncul artikel-artikel yang terkait dari beberpa sumber.

***

“Nih.”

Rex mendongak begitu melihat sebotol minuman segar disodorkan ke hadapannya.

Aku berusaha tersenyum hangat. “Katanya buah apel bisa jadi sahabat baik penderita asma.”

Kemaren, ketika sibuk mencari info di internet, rupanya buah apel lah yang berkhasiat untuk penderita asma. Bukannya lidah buaya. Jadi hari ini aku memutuskan untuk berbagi minuman sari apel untuk Rex. Tapi dia hanya melirik sekilas botol yang belum disambut tersebut dan memilih pergi tanpa sepatah kata pun hingga membuatku merasa putus asa karena gagal berkompromi.

“Kamu kenapa sih, Au?” Romeo-salah satu teman baik yang sudah cukup lama mengenalku terlihat heran dengan kemurungan di wajahku saat pulang sekolah.

“Kayaknya Rex masih marah sama aku.”

“Kamu masih mikirin Rex? Kamu mau aku bantu bicara bicara sama dia?”

“Jangan!” Perkara asma sudah cukup membuatku kapok mempercayakan sesuatu hal tentang Rex kepada Romeo. “Kayaknya kamu cuma pelru doain aku deh.”

“Ya udah, nanti sore habis pulang sekolah aku berdoa buat kamu.” ucap Romeo dengan senyum penyemangat sambil menepuk pundakku,

“Lho, memangnya kamu ngga pulang?”

Romeo menggeleng. “Masih harus bersihin aula basket. Piket mingguan.”

“Ooh…” Aku mengangguk paham. “Ya udah, aku pulang duluan, ya…”

Setelah melambai, aku pun berjalan menjauhi sekolah. Saat beberapa jarak lagi tiba di rumah…

“Kak Au!”

Selain Romeo, ada satu orang lagi yang biasa memanggilku seperti itu. Aku menoleh dan melihat seorang bocah laki-laki sedang memanjat dari balik pagar.

“Kak Romeo mana?” Rafael ini adik Romeo yang belum genap berumur lima tahun.

“Kak Romeo masih piket di sekolah. Kemungkinan sore baru pulang.”

“Yah… aku sendirian lagi deh di rumah.” gumam Rafael sambil tertunduk sedih. Orang tua Romeo memang jarang berada di rumah. Bocah sekecil ini terlalu rentan untuk ditinggal di rumah sendirian. Jadi, aku pun menawarkan diri sambil mendekati bocah itu dengan antusias. “Mau kakak temani?”

“Ngga ah. Percuma juga. Kak Au ngga bisa ajarin aku gara-gara dapat peringkat terakhir di sekolah.”

Tubuhku seketika membeku. Baru kali ini ada bocah yang berani mengejekku seperti itu, selain Regan yang badannya terlalu bongsor untuk disebut bocah. Ini pasti ulah Romeo yang terlalu blak-blakan. Tidak heran rahasia Rex yang maha agung itu bisa tersebar luas hanya lewat mulutnya.

Dorongan untuk mambantu yang tadinya muncul pun hilang seketika. Rafael telah merusak suasana hatiku yang akhirnya memilih pergi dan berusaha untuk tidak peduli.

Tapi keesokan harinya sepulang sekolah, aku melewati kelas Romeo yang ternyata masih mengikuti pelajaran tambahan. Entah ada angin apa, tiba-tiba aku teringat dengan sosok Rafael yang mungkin ditinggal sendirian lagi di rumah dan kembali menunggu kepulangan kakaknya yang akan pulang lebih telat dari kemaren karena harus menunaikan tugas piketnya terlebih dahulu.

Dorongan untuk menemani bocah itu muncul lagi. Tapi mengingat ucapannya kemaren, sepertinya aku hanya akan kemballi mengalami penolakan. Atau mungkin aku bisa membantu dengan cara lain?

***

“Au?”

Aku yang sedang asyik mengepel pun menoleh ke sumber suara. Rupanya pelajaran tambahannya sudah selesai hingga Romeo pun segera bergegas menuju aula basket untuk melaksanakan tugas piketnya tapi langsung melongo kebingungan di pintu masuk karena sudah ada seseorang yang menggantikan tugasnya.

“Hai!” sapaku ceria.

“Kamu ngapain…?”

“Eits, jangan masuk!” cegahku sebelum Romeo menginjakkan kakinya ke dalam aula. “Bagian depan sudah bersih. Jangan diinjak lagi.”

Sebelah kaki Romeo yang terhenti di udara pun ditarik mundur.

“Mending kamu pulang aja temenin Rafael. Aula nya biar aku yang bersihkan.”

“Tapi…”

“Ngga ada tapi!” selaku. “Kemaren aku mau nemenin Rafael nungguin kamu pulang, tapi dia ngga mau. Dia mau nya sama kamu. Jadi, kita tukeran aja.”

Romeo terlihat berpikir sejenak, lalu kemudian sebelah ujung bibirnya tertarik naik. “Makasih ya,  Au!” ucapnya sebelum menghilang dari balik pintu.

Perlu lima belas menit untuk membereskan semuanya. Begitu selesai, aku segera bergegas pulang karena takut dicari orang rumah karena terlambat pulang.

Saat hendak meninggalkan aula basket, aku melewati kolam berenang sekolah yang pintunya terbuka tapi tidak terdengar suara berisik air ataupun suara seseorang. Karena penasaran, aku pun memberanikan diri untuk mencari tahu. Dan begitu mengintip dari pintu masuk, mataku melebar seketika saat melihat tubuh seorang murid sedang mengapung di tengah kolam berenang.

Entah siapa murid laki-laki itu yang mungkin saja sedang bercanda atau tidak. Tapi saat ini tidak terlihat seseorang yang bisa berbuat sesuatu kecuali diriku sendiri. Akhirnya aku pun memutuskan untuk terjun dan berenang ke tengah kolam dalam hitungan detik.

Kepanikanku bertambah setelah melihat nama Rex tertera di seragam murid yang kedua matanya teroejam dan tak sadarkan diri itu. Ini bukan candaan dan Rex harus segera ditolong!

Dengan susah payah kuangkat tubuh pria itu ke tepi kolam berenang. “Rex! Bangun Rex!” Aku berteriak sembari mengguncang tubuhnya berkali-kali tapi yang dipanggil tak kunjung sadar.

Aku kemudian mengecek kerja jantung Rex dan berencana melakukan aksi CPR. Berkat pengetahuan yang diberikan oleh ayahku yang berprofesi sebagai pelatih renang, aku pun memompa dada Rex diselingi pemberian nafas bantuan dari mulut ke mulut. Satu, dua, hingga tiga kali akhirnya Rex terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. Nafasku juga ikut tersengal karena kelelahan. Rex yang tidak tahu apa-apa awalnya terkejut melihat sosokku yang juga basah kuyup. Dan tanpa mengatakan sepatah kata pun, Rex malah bangkit berdiri lalu berlari pergi. Aku yang tadinya ingin mencegah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin Rex masih shock dan tidak tahu harus bagaimana menghadapiku yang terlanjur tahu banyak tentang kelemahannya. Rex benar-benar remaja yang penuh dengan kerumitan. Bukannya berterima kasih karena telah ditolong, ia malah pergi dengan wajah yang menyebalkan.

***

“Aku pulang…”

Ayah yang tadinya sedang menonton televisi sampai menoleh begitu mendengar suara lemah putrinya. Aku yang terlalu lelah memilih untuk langsung melesat ke kamar. Tapi seakan tak berniat membiarkan anaknya melemaskan otot-otot yang telah dipaksa bekerja berlebihan hari ini, ibu menyuruhku untuk berbelanja bahan makanan di supermarket.

Pukul lima sore, aku sudah mengelilingi supermarket bersama troli dan selembar kertas berisi pesanan ibu. Tanpa diduga, aku berpas-pasan dengan seseorang di deretan rak makanan ringan. Ternyata Regan juga menyadari kehadiranku dan terdiam cukup lama sambil menggenggam sebungkus snack kentang berbumbu.

“Hai, Audy,” sapanya sok akrab dengan senyum menawan. Aku memang terlihat mengaguminya, tapi siapa sangka kakak kelas yang wajahnya tampan itu mengingat namaku. Ternyata mendapat peringkat terakhir ada untungnya juga. “Lagi belanja, ya?” tanyanya begitu tiba di hadapanku.

Aku pun mengangguk membenarkan.

“Belanja bareng, yuk!”

Mataku langsung melebar seketika mendengar ajakannya tersebut dan tanpa menunggu persetujuanku, Regan langsung mengambil alih troli dan daftar belanja yang sedari tadi kupegang.

“Hei!” Duh, apa yang sedang direncanakan kakak kelas satu ini sih?

Rupanya Regan cukup cekatan kalau soal belanja. Dan tidak rugi juga menghabiskan waktu bersama cowok keren seperti dia. Tapi kebahagiaanku itu sedikit terganggu dengan kehadiran seorang gadis cantik tinggi semampai yang menegur Regan dan mencoba menariknya dari sisiku. Namun Regan enggan dan malah menghindar hingga gadis itu kesal lalu menatapku tajam sebelum pergi meninggalkan kami berdua. Sedikit kebingungan, aku pun meminta penjelasan.

“Dia itu Maura. Mantan pacarku.” Regan mengaku setelah kita tiba di kasir.

“Mantan? Kamu yakin?” tanyaku tak percaya karena gelagat Maura tadi terlihat seperti sedang memergokiku berselingkuh dengan pacarnya.

“Iya!” jawab Regan tegas. “Kita udah putus dua minggu yang lalu. Tapi dia nya ngga terima.”

Aku menghela napas panjang, cukup mengerti dengan kasus percintaan Regan. Tapi hari sudah semakin malam, tidak ada waktu untuk menjadi ibu peri yang siap mendengarkan curahan hati seorang Regan. Dan ibu sudah menelepon, itu tandanya aku harus segera pulang.

“Makasih ya.” ucapku dengan sebuah senyuman yang langsung menghilang begitu tangan Regan menggapai puncak kepalaku lalu mengacak rambutku pelan.

“Ternyata kamu imut juga. Aku pulang duluan, ya…” sahutnya dengan wajah bahagia.

Telingaku mendengar ucapannya dan mataku terpaku melihat sosok Regan yang melambai dengan senyum khasnya sambil menjauh pergi, tapi otakku belum bisa bekerja sepenuhnya. Aku hanya bisa balas melambai setelah pria itu masuk ke dalam mobilnya dan aku berjalan pulang sambil melamun. Ucapannya tadi terus terngiang di telinga hingga membuat pikiranku kacau. Oh tidak, seorang Audy Nagisa semakin tergila-gila pada Regan!

***

Hari ini tugas piket Romeo berakhir. Harusnya aku sudah bisa pulang cepat. Tapi saat hendak keluar dari toilet perempuan, Maura dan seorang kawannya lagi menghadang. Entah apa tujuan mereka, tapi sepertinya aku punya firasat buruk.

“Jadi ini pacar barunya Regan?” tantang kawan Maura. Tertulis nama Ajeng di seragamnya. “Heran kenapa tipe ceweknya bisa jeblok kayak gini. Peringkat terakhir pula!” timpalnya, dan kulihat Maura menyeringai.

Tanpa sadar, mereka berhasil menyudutkanku hingga dinginnya dinding toilet menyentuh pundakku.

“Jangan berani-berani rebut Regan dari sisiku. Ini peringatan!” Bisikan Maura terdengar begitu menyeramkan di telingaku. Detik berikutnya, seseorang dengan sengaja dan sukses mengguyurkan air dingin hingga seragamku basah. “Dan ini mungkin berkhasiat untuk otakmu yang jebol.” tambah Maura sambil memecahkan sebutir telur mentah di kepalaku.

Lalu terdengar tawa bahagia kedua kakak kelas tersebut yang menggema. Tapi sebelum sesuatu yang lebih buruk mungkin terjadi, aku bersyukur mereka pergi meninggalkanku yang terdiam membisu. Kugigit bibirku cukup keras hingga kupikir akan berdarah. Tapi ketika aku bercermin, tidak terlihat darah disana. Melainkan sesosok siswi konyol yang seakan baru tercebur ke dalam bak sampah. Menggigil kedinginan tidak masalah, tapi bau amis telur membuatku tidak bisa bertahan. Bagaimana caraku pulang jika begini keadaannya?

Cukup lama bergulat dengan pikiranku sendiri, akhirnya kuputuskan untuk keluar dari toilet tiga puluh menit setelah jam pulang sekolah berlalu. Sesuai perkiraanku, begitu tiba di kelas, tidak ada lagi teman-teman lain. Hanya tersisa tasku yang masih tersandar manis di bangku.

Tapi aku malah bertemu Romeo yang rupanya sudah menunggu di depan kelas. “Kamu kenapa, Au?” tanyanya heran.

Aku hanya menggeleng dan menghindarinya. Saat ini aku benar-benar sedang tidak ingin diganggu. Aku hanya ingin pulang ke rumah dan membersihkan diri.

“Au, tunggu!” Romeo berusaha mengejar. Tapi langkahku yang kelewat cepat akhirnya terhenti juga saat melihat Regan berdiri di depan gerbang sekolah. Senyum yang tadinya terukir di wajahnya seketika memudar saat matanya dapat menyadari dengan jelas apa yang sedang terjadi padaku.

“Kamu kenapa?” tanyanya begitu tiba di hadapanku. “Siapa yang…?”

“Maura.” selaku dengan nafas tercekat.

Pundak Regan tiba-tiba melemas. Wajahnya pun terlihat penuh penyesalan. Sebelum sempat mendengar kata maaf, aku berlari meninggalkannya sambil menahan tangis. Dan seakan belum cukup, kakiku tersandung sesuatu hingga berhasil membuat tubuhku tersungkur ke tanah. Sempat memekik kesakitan, aku mengumpat kesal dalam hati. Sudah cukup drama hari ini!

Tiba-tiba sebuah tangan terulur untuk membantuku bangkit. Setelah menyambutnya, kini giliran sebuah botol berembun yang disodorkan. Tenggorokanku yang terasa kering serta lelah sehabis berlari refleks membuatku menerimaa pemberian itu.

Tapi begitu diteguk, yang terasa bukanlah segarnya air mineral seperti yang kuharapkan, melainkan sari buah masam. Dengan wajah mengkerut, kubaca label yang tertera di botol, lalu tersemburlah sisa minuman yang ada dimulutku. Ini adalah minuman yang kuberikan pada Rex beberapa waktu yang lalu! Dan begitu menoleh, telah berdiri sosok Rex yang bagai hantu di siang bolong.

“Rex!” seruku tercekat. Tapi yang mendapat tatapan ngeri dariku itu hanya duduk dengan santainya di sebelahku sambil menyodorkan selembar sapu tangan yang kemudian kugunakan untuk membersihkan diriku seadanya supaya Rex tidak muntah mendadak jika duduk di dekatku seperti ini.

“Kamu jadi korban bully juga?”

Kegiatanku terhenti sejenak. “Juga?” tanyaku dengan kening berkerut.

“Yah… waktu kamu nolongin aku yang tenggelam…”

Mataku mengerjap. “Kamu jadi korban bullying?”

Rex mengangguk samar. Oh jadi begitu rupanya…

Hening sejenak saat dua murid korban bullying sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tiba-tiba tenggorokanku minta dilumasi lagi. Tapi belum sempat meneguk kembali sari apel pemberian Rex, aku baru tersadar akan satu hal.

“Jadi ini bekas kamu?” pekikku sambil mengacungkan botol yang isinya sisa setengah itu.

“Ngga usah pura-pura jijik. Bibir kita juga udah pernah saling ketemu secara langsung.” gumam Rex sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.

Entah kenapa wajahku jadi terasa panas. Yang dikatakan Rex memang benar. CPR waktu itu memaksaku secara tidak langsung untuk mempertemukan bibir kami berdua. Kugigit bibirku dengan salah tingkah. Kenapa tragedi antara aku dan Rex tidak ada habisnya sih?

***

Hari berganti, dan semua berubah sejak kejadian penyerangan Maura beserta kawannya itu. Aku jadi lebih berhati-hati lagi di sekolah. Tapi ternyata itu tak mudah. Apalagi menghindari Regan yang terus mendatangiku sembari meminta maaf. Sudah berulang kali kuacuhkan pun pria itu terus mengulangi hal yang sama. Dan berkali-kali pula aku menolak untuk berbicara dengannya. Bukan karena takut dengan Maura. Justru aku masih berani menegakkan kepala setiap Maura memergoki Regan menghampiriku. Hanya perlu bertahan satu tahun lagi hingga mereka lulus. Dan selama aku benar, aku tidak perlu takut.

“Au!” Lain lagi dengan Romeo yang jadi begitu peduli denganku. Ia bahkan secara tak sadar menawarkan diri untuk menemaniku ke toilet. Kali saja Maura belum puas membullyku dan siap menyerangku kapan saja. Tapi aku berusaha menenangkannya kalau aku baik-baik saja. Ia tidak perlu khawatir berlebihan seperti itu. Perubahan sikapnya hanya akan membuatku jadi tidak nyaman.

Lalu bagaimana dengan Rex?

Rupanya aku sudah bisa berdamai dengan bocah itu. Secara tidak langsung, Rex sudah memaafkanku dan mau lebih terbuka denganku. Terutama dalam hal pelajaran. Dia satu-satunya orang yang selalu mengkritik pedas prestasiku yang tidak mengalami kemajuan. Dan jujur saja, dia itu guru yang buruk!

Sore itu aku sudah terlanjur penat belajar di kamar untuk ujian Biologi besok. Ponselku bergetar tiga kali, tanda ada tiga pesan untukku.

Pesan pertama berasal dari Regan yang isinya selalu sama: permintaan maaf.

Kedua, pesan dari Romeo yang memintaku untuk menemani adiknya di rumah sementara ia bertanding basket sore ini. Huh, kemana perhatiannya selama ini? Sekarang dia lebih mementingkan basketnya. Lagipula, apa Romeo lupa kalau adiknya tidak tertarik padaku?

Lalu terakhir, pesan dari Rex yang mengajakku untuk belajar Biologi bersama. Ya ampun! Asal dia tahu saja, otakku sudah terlalu kacau untuk dipakai menghafal!

Pesan-pesan yang dikirim oleh tiga pria berbeda ini semakin membuatku frustasi. Alhasil, aku menutup buku dan menghubungi seseorang.

Missy sebentar lagi menjemputku, dan kami-sahabat yang berbeda sekolah-akan menghabiskan waktu dengan menonton di bioskop bersama. Mungkin aku butuh rehat sejenak dan semoga saja prestasiku bisa meningkat satu angka. Yah… hanya sekedar pengandaian remaja labil yang mustahil terjadi.

-THE END-