[Diikutkan dalam kontes fanfic The Chronicles of Audy Penerbit Haru]
The Confusing Teens
Cast:
Audy
4R (Regan, Romeo, Rex, Rafael)
Maura
Ajeng
Ayah dan Ibu Audy
Missy
***
Siapa yang
tidak mengenal seorang Audy Nagisa? Seluruh warga sekolah tahu siapa aku. Bukan
karena jenius ataupun menjadi juara umum. Tapi justru karena peringkat terakhir
dari seluruh murid kelas sebelas.
Papan
pengumuman sekolah saat ini sedang dipenuhi oleh murid-murid yang penasaran
dengan nilai ujian semester. Aku yang melewati kerumunan tersebut sudah tidak
begitu berminat melihat apa yang dipajang disana. Firasat mengatakan kalau
namaku berada di urutan terbawah lagi.
“Selamat ya
untuk peringkat satu dari bawah.” Seseorang jelas-jelas mengejekku. Aku menoleh
dan mendapati Regan sedang berdiri tak jauh dariku. Kakak kelas yang cukup
populer di sekolah itu ternyata masih gemar mengkonsumsi snack anak-anak.
Buktinya sekarang pria yang tingginya menjulang itu sedang menggenggam
sebungkus kerupuk jagung bakar. Kubalas cibirannya itu dengan wajah jutek, lalu
memilih pergi.
“Au!”
Di sekolah
ini cuma ada satu orang yang memanggilku seperti itu. Romeo orangnya. Pria
dengan rambut terkepang kuda dan seragam urakan itu menghampiriku sambil
menenteng tas di sebelah pundaknya.
“Apa?” sahutku
terlanjur kesal.
“Kamu dapat
peringkat akhir lagi tuh.”
Aku menghela
nafas lelah. “Makasih lho infonya.”
Romeo yang
lugu pun nyengir.
Tiba-tiba
pundakku menegak saat melihat seseorang berjalan dari arah yang berlawanan.
Pria yang kini selalu mengenakan masker untuk menutupi hidung dan mulutnya itu
berjalan lurus bahkan melewatiku dan Romeo tanpa menoleh. Sedetik kemudian aku
mengejarnya karena ada yang perlu kubicarakan dan terpaksa meninggalkan Romeo
yang termengu.
“Rex,
tunggu!”
Pria yang
dimaksud menghentikan langkahnya dan perlahan menoleh.
“Kamu masih
marah sama aku?”
Beberapa
waktu yang lalu, aku tidak sengaja membuat perkara dengan salah satu juara umum
sekolah dan murid yang terkenal antisosial itu. Rahasia Rex yang selama ini
mengidap penyakit asma akhirnya terkuak olehku yang tidak sengaja menemukan
inhaler miliknya di koridor sekolah. Saat itu Rex berpikir bahwa hanya aku lah
yang tahu tentang penyakitnya. Dan itu masih dalam batas aman. Tapi entah
bagaimana caranya, keesokan harinya Rex sudah menjadi bahan perbincangan dan
sangkut pautnya dengan asma. Aku yang tidak tahu apa-apa tentu saja menjadi
orang pertama yang mendapat tatapan tajam dari Rex. Padahal aku hanya bercerita
pada Romeo dan tidak tahu kalau akan seperti ini jadinya.
Kembali ke
saat sekarang, rupanya pertanyaanku tadi tak kunjung dijawab, sehingga mungkin
saja Rex masih belum memaafkanku.
“Apa yang
salah sih kalau semua orang tahu soal penyakitmu?” Kulihat rahang Rex mengeras.
Tadinya aku tidak mau membuatnya semakin kesal. Tapi sepertinya gagal.
“Menurutmu,
dengan mendapat peringkat terakhir bisa membuatmu bangga?” Rex akhirnya
bersuara, tapi setelah itu langsung pergi meninggalkanku yang terdiam dan
terpaku menatap punggung kurus itu semkain menjauh. Walaupun prestasiku tidak
tinggi-tinggi amat, tapi sepertinya aku paham bagaimana keadaan Rex saat ini.
Tidak perlu jenius untuk dapat bersimpati. Mungkin penyakit asma itu membuat
Rex tak nyaman atau bahkan terancam. Seorang pria juga tak ingin dianggap
lemah, kan?
Setelah
mendapat teguran tak langsung dari Rex tadi, aku melangkah pulang ke rumah
dengan kepala tertunduk. Saat masuk ke pekarangan rumah, ibu terlihat sedang
duduk santai sambil mengoleskan kepalanya dengan sebatang lidah buaya yang
sudah dipotong hingga memperlihatkan sarinya.
“Lagi
ngapain, Bu?” tanyaku pensaran.
Ibu
mendongak dan berhenti sejenak. “Supaya ngga ketombean.”
Aku terdiam
sejenak mendengar info baru tersebut dan tiba-tiba mendapat sebuah ide
cemerlang. Tanpa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu, aku langsung
berselancar di dunia maya untuk mencari tahu sesuatu.
Jari-jariku
mengetik ‘khasiat lidah buaya’ pada kotak pencarian. Detik berikutnya, telah
muncul artikel-artikel yang terkait dari beberpa sumber.
***
“Nih.”
Rex
mendongak begitu melihat sebotol minuman segar disodorkan ke hadapannya.
Aku berusaha
tersenyum hangat. “Katanya buah apel bisa jadi sahabat baik penderita asma.”
Kemaren,
ketika sibuk mencari info di internet, rupanya buah apel lah yang berkhasiat
untuk penderita asma. Bukannya lidah buaya. Jadi hari ini aku memutuskan untuk
berbagi minuman sari apel untuk Rex. Tapi dia hanya melirik sekilas botol yang
belum disambut tersebut dan memilih pergi tanpa sepatah kata pun hingga
membuatku merasa putus asa karena gagal berkompromi.
“Kamu kenapa
sih, Au?” Romeo-salah satu teman baik yang sudah cukup lama mengenalku terlihat
heran dengan kemurungan di wajahku saat pulang sekolah.
“Kayaknya
Rex masih marah sama aku.”
“Kamu masih
mikirin Rex? Kamu mau aku bantu bicara bicara sama dia?”
“Jangan!”
Perkara asma sudah cukup membuatku kapok mempercayakan sesuatu hal tentang Rex
kepada Romeo. “Kayaknya kamu cuma pelru doain aku deh.”
“Ya udah,
nanti sore habis pulang sekolah aku berdoa buat kamu.” ucap Romeo dengan senyum
penyemangat sambil menepuk pundakku,
“Lho,
memangnya kamu ngga pulang?”
Romeo
menggeleng. “Masih harus bersihin aula basket. Piket mingguan.”
“Ooh…” Aku
mengangguk paham. “Ya udah, aku pulang duluan, ya…”
Setelah
melambai, aku pun berjalan menjauhi sekolah. Saat beberapa jarak lagi tiba di
rumah…
“Kak Au!”
Selain
Romeo, ada satu orang lagi yang biasa memanggilku seperti itu. Aku menoleh dan
melihat seorang bocah laki-laki sedang memanjat dari balik pagar.
“Kak Romeo
mana?” Rafael ini adik Romeo yang belum genap berumur lima tahun.
“Kak Romeo
masih piket di sekolah. Kemungkinan sore baru pulang.”
“Yah… aku
sendirian lagi deh di rumah.” gumam Rafael sambil tertunduk sedih. Orang tua
Romeo memang jarang berada di rumah. Bocah sekecil ini terlalu rentan untuk
ditinggal di rumah sendirian. Jadi, aku pun menawarkan diri sambil mendekati
bocah itu dengan antusias. “Mau kakak temani?”
“Ngga ah.
Percuma juga. Kak Au ngga bisa ajarin aku gara-gara dapat peringkat terakhir di
sekolah.”
Tubuhku
seketika membeku. Baru kali ini ada bocah yang berani mengejekku seperti itu,
selain Regan yang badannya terlalu bongsor untuk disebut bocah. Ini pasti ulah
Romeo yang terlalu blak-blakan. Tidak heran rahasia Rex yang maha agung itu
bisa tersebar luas hanya lewat mulutnya.
Dorongan
untuk mambantu yang tadinya muncul pun hilang seketika. Rafael telah merusak
suasana hatiku yang akhirnya memilih pergi dan berusaha untuk tidak peduli.
Tapi
keesokan harinya sepulang sekolah, aku melewati kelas Romeo yang ternyata masih
mengikuti pelajaran tambahan. Entah ada angin apa, tiba-tiba aku teringat
dengan sosok Rafael yang mungkin ditinggal sendirian lagi di rumah dan kembali
menunggu kepulangan kakaknya yang akan pulang lebih telat dari kemaren karena
harus menunaikan tugas piketnya terlebih dahulu.
Dorongan
untuk menemani bocah itu muncul lagi. Tapi mengingat ucapannya kemaren,
sepertinya aku hanya akan kemballi mengalami penolakan. Atau mungkin aku bisa
membantu dengan cara lain?
***
“Au?”
Aku yang
sedang asyik mengepel pun menoleh ke sumber suara. Rupanya pelajaran
tambahannya sudah selesai hingga Romeo pun segera bergegas menuju aula basket
untuk melaksanakan tugas piketnya tapi langsung melongo kebingungan di pintu
masuk karena sudah ada seseorang yang menggantikan tugasnya.
“Hai!” sapaku
ceria.
“Kamu
ngapain…?”
“Eits,
jangan masuk!” cegahku sebelum Romeo menginjakkan kakinya ke dalam aula.
“Bagian depan sudah bersih. Jangan diinjak lagi.”
Sebelah kaki
Romeo yang terhenti di udara pun ditarik mundur.
“Mending
kamu pulang aja temenin Rafael. Aula nya biar aku yang bersihkan.”
“Tapi…”
“Ngga ada
tapi!” selaku. “Kemaren aku mau nemenin Rafael nungguin kamu pulang, tapi dia
ngga mau. Dia mau nya sama kamu. Jadi, kita tukeran aja.”
Romeo
terlihat berpikir sejenak, lalu kemudian sebelah ujung bibirnya tertarik naik.
“Makasih ya, Au!” ucapnya sebelum
menghilang dari balik pintu.
Perlu lima
belas menit untuk membereskan semuanya. Begitu selesai, aku segera bergegas pulang
karena takut dicari orang rumah karena terlambat pulang.
Saat hendak
meninggalkan aula basket, aku melewati kolam berenang sekolah yang pintunya
terbuka tapi tidak terdengar suara berisik air ataupun suara seseorang. Karena
penasaran, aku pun memberanikan diri untuk mencari tahu. Dan begitu mengintip
dari pintu masuk, mataku melebar seketika saat melihat tubuh seorang murid
sedang mengapung di tengah kolam berenang.
Entah siapa
murid laki-laki itu yang mungkin saja sedang bercanda atau tidak. Tapi saat ini
tidak terlihat seseorang yang bisa berbuat sesuatu kecuali diriku sendiri.
Akhirnya aku pun memutuskan untuk terjun dan berenang ke tengah kolam dalam
hitungan detik.
Kepanikanku
bertambah setelah melihat nama Rex tertera di seragam murid yang kedua matanya
teroejam dan tak sadarkan diri itu. Ini bukan candaan dan Rex harus segera
ditolong!
Dengan susah
payah kuangkat tubuh pria itu ke tepi kolam berenang. “Rex! Bangun Rex!” Aku
berteriak sembari mengguncang tubuhnya berkali-kali tapi yang dipanggil tak
kunjung sadar.
Aku kemudian
mengecek kerja jantung Rex dan berencana melakukan aksi CPR. Berkat pengetahuan
yang diberikan oleh ayahku yang berprofesi sebagai pelatih renang, aku pun
memompa dada Rex diselingi pemberian nafas bantuan dari mulut ke mulut. Satu, dua,
hingga tiga kali akhirnya Rex terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya.
Nafasku juga ikut tersengal karena kelelahan. Rex yang tidak tahu apa-apa
awalnya terkejut melihat sosokku yang juga basah kuyup. Dan tanpa mengatakan
sepatah kata pun, Rex malah bangkit berdiri lalu berlari pergi. Aku yang
tadinya ingin mencegah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin Rex masih shock
dan tidak tahu harus bagaimana menghadapiku yang terlanjur tahu banyak tentang
kelemahannya. Rex benar-benar remaja yang penuh dengan kerumitan. Bukannya
berterima kasih karena telah ditolong, ia malah pergi dengan wajah yang
menyebalkan.
***
“Aku
pulang…”
Ayah yang tadinya
sedang menonton televisi sampai menoleh begitu mendengar suara lemah putrinya.
Aku yang terlalu lelah memilih untuk langsung melesat ke kamar. Tapi seakan tak
berniat membiarkan anaknya melemaskan otot-otot yang telah dipaksa bekerja
berlebihan hari ini, ibu menyuruhku untuk berbelanja bahan makanan di supermarket.
Pukul lima
sore, aku sudah mengelilingi supermarket bersama troli dan selembar kertas
berisi pesanan ibu. Tanpa diduga, aku berpas-pasan dengan seseorang di deretan
rak makanan ringan. Ternyata Regan juga menyadari kehadiranku dan terdiam cukup
lama sambil menggenggam sebungkus snack kentang berbumbu.
“Hai, Audy,”
sapanya sok akrab dengan senyum menawan. Aku memang terlihat mengaguminya, tapi
siapa sangka kakak kelas yang wajahnya tampan itu mengingat namaku. Ternyata
mendapat peringkat terakhir ada untungnya juga. “Lagi belanja, ya?” tanyanya
begitu tiba di hadapanku.
Aku pun
mengangguk membenarkan.
“Belanja
bareng, yuk!”
Mataku
langsung melebar seketika mendengar ajakannya tersebut dan tanpa menunggu
persetujuanku, Regan langsung mengambil alih troli dan daftar belanja yang
sedari tadi kupegang.
“Hei!” Duh,
apa yang sedang direncanakan kakak kelas satu ini sih?
Rupanya
Regan cukup cekatan kalau soal belanja. Dan tidak rugi juga menghabiskan waktu
bersama cowok keren seperti dia. Tapi kebahagiaanku itu sedikit terganggu
dengan kehadiran seorang gadis cantik tinggi semampai yang menegur Regan dan
mencoba menariknya dari sisiku. Namun Regan enggan dan malah menghindar hingga
gadis itu kesal lalu menatapku tajam sebelum pergi meninggalkan kami berdua.
Sedikit kebingungan, aku pun meminta penjelasan.
“Dia itu
Maura. Mantan pacarku.” Regan mengaku setelah kita tiba di kasir.
“Mantan?
Kamu yakin?” tanyaku tak percaya karena gelagat Maura tadi terlihat seperti
sedang memergokiku berselingkuh dengan pacarnya.
“Iya!” jawab
Regan tegas. “Kita udah putus dua minggu yang lalu. Tapi dia nya ngga terima.”
Aku menghela
napas panjang, cukup mengerti dengan kasus percintaan Regan. Tapi hari sudah
semakin malam, tidak ada waktu untuk menjadi ibu peri yang siap mendengarkan
curahan hati seorang Regan. Dan ibu sudah menelepon, itu tandanya aku harus
segera pulang.
“Makasih
ya.” ucapku dengan sebuah senyuman yang langsung menghilang begitu tangan Regan
menggapai puncak kepalaku lalu mengacak rambutku pelan.
“Ternyata
kamu imut juga. Aku pulang duluan, ya…” sahutnya dengan wajah bahagia.
Telingaku
mendengar ucapannya dan mataku terpaku melihat sosok Regan yang melambai dengan
senyum khasnya sambil menjauh pergi, tapi otakku belum bisa bekerja sepenuhnya.
Aku hanya bisa balas melambai setelah pria itu masuk ke dalam mobilnya dan aku
berjalan pulang sambil melamun. Ucapannya tadi terus terngiang di telinga
hingga membuat pikiranku kacau. Oh tidak, seorang Audy Nagisa semakin
tergila-gila pada Regan!
***
Hari ini
tugas piket Romeo berakhir. Harusnya aku sudah bisa pulang cepat. Tapi saat
hendak keluar dari toilet perempuan, Maura dan seorang kawannya lagi
menghadang. Entah apa tujuan mereka, tapi sepertinya aku punya firasat buruk.
“Jadi ini
pacar barunya Regan?” tantang kawan Maura. Tertulis nama Ajeng di seragamnya.
“Heran kenapa tipe ceweknya bisa jeblok kayak gini. Peringkat terakhir pula!”
timpalnya, dan kulihat Maura menyeringai.
Tanpa sadar,
mereka berhasil menyudutkanku hingga dinginnya dinding toilet menyentuh
pundakku.
“Jangan
berani-berani rebut Regan dari sisiku. Ini peringatan!” Bisikan Maura terdengar
begitu menyeramkan di telingaku. Detik berikutnya, seseorang dengan sengaja dan
sukses mengguyurkan air dingin hingga seragamku basah. “Dan ini mungkin
berkhasiat untuk otakmu yang jebol.” tambah Maura sambil memecahkan sebutir
telur mentah di kepalaku.
Lalu
terdengar tawa bahagia kedua kakak kelas tersebut yang menggema. Tapi sebelum
sesuatu yang lebih buruk mungkin terjadi, aku bersyukur mereka pergi
meninggalkanku yang terdiam membisu. Kugigit bibirku cukup keras hingga kupikir
akan berdarah. Tapi ketika aku bercermin, tidak terlihat darah disana.
Melainkan sesosok siswi konyol yang seakan baru tercebur ke dalam bak sampah.
Menggigil kedinginan tidak masalah, tapi bau amis telur membuatku tidak bisa
bertahan. Bagaimana caraku pulang jika begini keadaannya?
Cukup lama
bergulat dengan pikiranku sendiri, akhirnya kuputuskan untuk keluar dari toilet
tiga puluh menit setelah jam pulang sekolah berlalu. Sesuai perkiraanku, begitu
tiba di kelas, tidak ada lagi teman-teman lain. Hanya tersisa tasku yang masih
tersandar manis di bangku.
Tapi aku
malah bertemu Romeo yang rupanya sudah menunggu di depan kelas. “Kamu kenapa,
Au?” tanyanya heran.
Aku hanya
menggeleng dan menghindarinya. Saat ini aku benar-benar sedang tidak ingin
diganggu. Aku hanya ingin pulang ke rumah dan membersihkan diri.
“Au,
tunggu!” Romeo berusaha mengejar. Tapi langkahku yang kelewat cepat akhirnya
terhenti juga saat melihat Regan berdiri di depan gerbang sekolah. Senyum yang
tadinya terukir di wajahnya seketika memudar saat matanya dapat menyadari
dengan jelas apa yang sedang terjadi padaku.
“Kamu
kenapa?” tanyanya begitu tiba di hadapanku. “Siapa yang…?”
“Maura.”
selaku dengan nafas tercekat.
Pundak Regan
tiba-tiba melemas. Wajahnya pun terlihat penuh penyesalan. Sebelum sempat
mendengar kata maaf, aku berlari meninggalkannya sambil menahan tangis. Dan
seakan belum cukup, kakiku tersandung sesuatu hingga berhasil membuat tubuhku
tersungkur ke tanah. Sempat memekik kesakitan, aku mengumpat kesal dalam hati.
Sudah cukup drama hari ini!
Tiba-tiba
sebuah tangan terulur untuk membantuku bangkit. Setelah menyambutnya, kini
giliran sebuah botol berembun yang disodorkan. Tenggorokanku yang terasa kering
serta lelah sehabis berlari refleks membuatku menerimaa pemberian itu.
Tapi begitu
diteguk, yang terasa bukanlah segarnya air mineral seperti yang kuharapkan,
melainkan sari buah masam. Dengan wajah mengkerut, kubaca label yang tertera di
botol, lalu tersemburlah sisa minuman yang ada dimulutku. Ini adalah minuman
yang kuberikan pada Rex beberapa waktu yang lalu! Dan begitu menoleh, telah
berdiri sosok Rex yang bagai hantu di siang bolong.
“Rex!” seruku
tercekat. Tapi yang mendapat tatapan ngeri dariku itu hanya duduk dengan
santainya di sebelahku sambil menyodorkan selembar sapu tangan yang kemudian
kugunakan untuk membersihkan diriku seadanya supaya Rex tidak muntah mendadak
jika duduk di dekatku seperti ini.
“Kamu jadi
korban bully juga?”
Kegiatanku
terhenti sejenak. “Juga?” tanyaku dengan kening berkerut.
“Yah… waktu
kamu nolongin aku yang tenggelam…”
Mataku
mengerjap. “Kamu jadi korban bullying?”
Rex
mengangguk samar. Oh jadi begitu rupanya…
Hening
sejenak saat dua murid korban bullying sedang sibuk dengan pikirannya
masing-masing. Tiba-tiba tenggorokanku minta dilumasi lagi. Tapi belum sempat
meneguk kembali sari apel pemberian Rex, aku baru tersadar akan satu hal.
“Jadi ini
bekas kamu?” pekikku sambil mengacungkan botol yang isinya sisa setengah itu.
“Ngga usah
pura-pura jijik. Bibir kita juga udah pernah saling ketemu secara langsung.” gumam
Rex sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.
Entah kenapa
wajahku jadi terasa panas. Yang dikatakan Rex memang benar. CPR waktu itu
memaksaku secara tidak langsung untuk mempertemukan bibir kami berdua. Kugigit
bibirku dengan salah tingkah. Kenapa tragedi antara aku dan Rex tidak ada
habisnya sih?
***
Hari
berganti, dan semua berubah sejak kejadian penyerangan Maura beserta kawannya
itu. Aku jadi lebih berhati-hati lagi di sekolah. Tapi ternyata itu tak mudah.
Apalagi menghindari Regan yang terus mendatangiku sembari meminta maaf. Sudah
berulang kali kuacuhkan pun pria itu terus mengulangi hal yang sama. Dan
berkali-kali pula aku menolak untuk berbicara dengannya. Bukan karena takut
dengan Maura. Justru aku masih berani menegakkan kepala setiap Maura memergoki
Regan menghampiriku. Hanya perlu bertahan satu tahun lagi hingga mereka lulus.
Dan selama aku benar, aku tidak perlu takut.
“Au!” Lain
lagi dengan Romeo yang jadi begitu peduli denganku. Ia bahkan secara tak sadar
menawarkan diri untuk menemaniku ke toilet. Kali saja Maura belum puas
membullyku dan siap menyerangku kapan saja. Tapi aku berusaha menenangkannya
kalau aku baik-baik saja. Ia tidak perlu khawatir berlebihan seperti itu.
Perubahan sikapnya hanya akan membuatku jadi tidak nyaman.
Lalu
bagaimana dengan Rex?
Rupanya aku
sudah bisa berdamai dengan bocah itu. Secara tidak langsung, Rex sudah
memaafkanku dan mau lebih terbuka denganku. Terutama dalam hal pelajaran. Dia
satu-satunya orang yang selalu mengkritik pedas prestasiku yang tidak mengalami
kemajuan. Dan jujur saja, dia itu guru yang buruk!
Sore itu aku
sudah terlanjur penat belajar di kamar untuk ujian Biologi besok. Ponselku
bergetar tiga kali, tanda ada tiga pesan untukku.
Pesan
pertama berasal dari Regan yang isinya selalu sama: permintaan maaf.
Kedua, pesan
dari Romeo yang memintaku untuk menemani adiknya di rumah sementara ia
bertanding basket sore ini. Huh, kemana perhatiannya selama ini? Sekarang dia
lebih mementingkan basketnya. Lagipula, apa Romeo lupa kalau adiknya tidak
tertarik padaku?
Lalu
terakhir, pesan dari Rex yang mengajakku untuk belajar Biologi bersama. Ya
ampun! Asal dia tahu saja, otakku sudah terlalu kacau untuk dipakai menghafal!
Pesan-pesan
yang dikirim oleh tiga pria berbeda ini semakin membuatku frustasi. Alhasil,
aku menutup buku dan menghubungi seseorang.
Missy
sebentar lagi menjemputku, dan kami-sahabat yang berbeda sekolah-akan
menghabiskan waktu dengan menonton di bioskop bersama. Mungkin aku butuh rehat
sejenak dan semoga saja prestasiku bisa meningkat satu angka. Yah… hanya
sekedar pengandaian remaja labil yang mustahil terjadi.
-THE END-