Minggu, 21 Juni 2015

Dunia Kertas



Dunia ini tidaklah bulat.

Oh, bukan. Bumi yang tidak bulat.

Ah, apapun itu!

Kututup segera buku pelajaran yang berisi ilmu tentang lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di permukaan Bumi itu.

Di meja sebelah, sebungkus permen terakhir sedang menungguku sementara permen-permen lain sudah lenyap ke dalam mulutku, menyisakan beberpa lembar plastik pembungkusnya yang kubiarkan berhamburan di atas meja. Padahal sebuah tong sampah bulat sudah tersedia di sudut rumah. Aku nya saja yang terlalu malas untuk mebuangnya.

Sampai akhirnya ibu lah yang menegurku. “Anto, sampai kapan ibu harus terus mengingatkanmu untuk membuang sampah pada tempatnya?”

Kakiku sudah tiba di ambang pintu kamar saat mendengar omelan ibu untuk yang ke sekian kalinya mengenai sampah. Ibu bukan menteri lingkungan. Hanya seorang ibu rumah tangga cerewet yang terlalu peduli dengan lingkungan. Aku yang tadinya hendak membaringkan tubuh di atas ranjang akibat kelelahan belajar pun memberengut.

“Besok pagi kan bisa,” kelitku.

Ekor mataku melihat kalau ibu melotot begitu mendengar jawabanku. Dan karena takut sesuatu yang buruk akan terjadi, akhirnya aku pun mengalah. Dengan cepat kusapu bersih bungkus-bungkus permen itu dari atas meja dan segera memasukkannya ke tong sampah.

Setelah itu baru lah wajah ibu kembali setenang malaikat. Ibu memang seperti itu. Semua ibu memang cerewet. Tapi ibu ku yang paling cerewet.

Perkara tadi bukan hanya terjadi sekali. Dan aku bukan satu-satunya korban kecerewatan ibu. Adik perempuanku-Dina sampai terbiasa untuk menyimpan sampah tisu ataupun bungkus permen di dalam tasnya sebelum menemukan tong sampah. Kadang Dina bisa saja kelupaan dan akhirnya sampah itu membusuk di dalam tasnya. Aku bisa tahu karena kami sering mengeluh dan meratapi nasib bersama. Entah apa keuntungannya bagi ibu-bagi kami, untuk sepeduli itu terhadap sampah maupun lingkungan.

Ibu sering bilang, “Sampah itu bisa membuat kekacauan jika dibiarkan sembarangan.”

Terkadang ibu juga akan bercerita tentang Dunia Kertas. Seperti malam ini.

“Bagaimana kalau sampah itu tiba-tiba bisa menggandakan diri jika kau biarkan begitu saja di atas meja dan akhirnya bungkus-bungkus permen itu membentuk parasit yang mengerikan?”

Ibu bukan seorang penulis fiksi. Ia hanya wanita yang biasa menonton sinetron. Namun terkadang ceritanya mampu membuat siapa pun yang mendengarnya bergidik ngeri. Malam itu aku sukses bermimpi tentang bungkus permen yang menempeli sekujur tubuhku dan akhirnya membuatku terkena kelainan kulit.

Mimpi itu tidak seberapa parah dibandingkan mimpi Ayah tentang batang rokok bekas yang menumpuk di sungai-sungai lalu membusuk, berbau dan akhirnya menjadi polusi penyebab penyakit mematikan. Ayam-ayam mati, tumbuh-tumbuhan layu, dan populasi manusia mulai berkurang.

Jika sudah bermimpi seperti itu, nasehat ibu akan kembali terngiang di telinga kami. Kami tidak ingin sampah mangacaukan kehidupan kami. Aku bertekad akan selalu mebuang sampah pada tempatnya. Bahkan terkadang aku memungut sampah milik orang lain yang tidak bertanggung jawab. Persetan apa kata dan padangan orang lain yang melihatku seperti pemulung atau sebagainya. Jika tidak di mulai dari sekarang, kapan lagi? Mau menunggu sampai alam memperingatkan kita?

Tapi tidak lah efektif jika hanya keluargaku yang bertindak. Oleh sebab itu aku mulai gencar mencanangkan aksi sosialku itu melalui media sosial. Jaman sudah canggih, dan aku tidak mau sampah mengacaukan kecanggihan itu. Lalu aku akan memulai aksiku itu dari kisah ibu tentang Dunia Kertas.

Keterangan:
Sebenarnya saya hanya ingin kita semua untuk lebih peduli terhadap lingkungan saja. Perkara sampah bukan hanya tentang bungkus permen atau batang rokok. Perkembangan jaman membuat teknologi melesat, namun juga menyisakan limbah yang tak kunjung terselesaikan permasalahannya. Mulai lah bijak dalam menggunakan barang agar tak menambah sampah di Bumi ini. Hidup ini indah jika tanpa kekacauan, bukan?
 
[Tantangan @KampusFiksi #PesanMoral]