Dunia ini tidaklah bulat.
Oh, bukan. Bumi yang tidak bulat.
Ah, apapun itu!
Kututup segera buku pelajaran yang berisi ilmu tentang lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di
permukaan Bumi itu.
Di meja sebelah, sebungkus permen terakhir sedang menungguku
sementara permen-permen lain sudah lenyap ke dalam mulutku, menyisakan beberpa
lembar plastik pembungkusnya yang kubiarkan berhamburan di atas meja. Padahal
sebuah tong sampah bulat sudah tersedia di sudut rumah. Aku nya saja yang
terlalu malas untuk mebuangnya.
Sampai akhirnya ibu lah yang menegurku. “Anto, sampai kapan
ibu harus terus mengingatkanmu untuk membuang sampah pada tempatnya?”
Kakiku sudah tiba di ambang pintu kamar saat mendengar
omelan ibu untuk yang ke sekian kalinya mengenai sampah. Ibu bukan menteri
lingkungan. Hanya seorang ibu rumah tangga cerewet yang terlalu peduli dengan
lingkungan. Aku yang tadinya hendak membaringkan tubuh di atas ranjang akibat
kelelahan belajar pun memberengut.
“Besok pagi kan bisa,” kelitku.
Ekor mataku melihat kalau ibu melotot begitu mendengar
jawabanku. Dan karena takut sesuatu yang buruk akan terjadi, akhirnya aku pun
mengalah. Dengan cepat kusapu bersih bungkus-bungkus permen itu dari atas meja
dan segera memasukkannya ke tong sampah.
Setelah itu baru lah wajah ibu kembali setenang malaikat.
Ibu memang seperti itu. Semua ibu memang cerewet. Tapi ibu ku yang paling
cerewet.
Perkara tadi bukan hanya terjadi sekali. Dan aku bukan
satu-satunya korban kecerewatan ibu. Adik perempuanku-Dina sampai terbiasa
untuk menyimpan sampah tisu ataupun bungkus permen di dalam tasnya sebelum
menemukan tong sampah. Kadang Dina bisa saja kelupaan dan akhirnya sampah itu
membusuk di dalam tasnya. Aku bisa tahu karena kami sering mengeluh dan
meratapi nasib bersama. Entah apa keuntungannya bagi ibu-bagi kami, untuk
sepeduli itu terhadap sampah maupun lingkungan.
Ibu sering bilang, “Sampah itu bisa membuat kekacauan jika
dibiarkan sembarangan.”
Terkadang ibu juga akan bercerita tentang Dunia Kertas.
Seperti malam ini.
“Bagaimana kalau sampah itu tiba-tiba bisa menggandakan diri
jika kau biarkan begitu saja di atas meja dan akhirnya bungkus-bungkus permen
itu membentuk parasit yang mengerikan?”
Ibu bukan seorang penulis fiksi. Ia hanya wanita yang biasa menonton sinetron. Namun terkadang ceritanya mampu membuat siapa pun
yang mendengarnya bergidik ngeri. Malam itu aku sukses bermimpi tentang bungkus
permen yang menempeli sekujur tubuhku dan akhirnya membuatku terkena kelainan
kulit.
Mimpi itu tidak seberapa parah dibandingkan mimpi Ayah tentang
batang rokok bekas yang menumpuk di sungai-sungai lalu membusuk, berbau dan
akhirnya menjadi polusi penyebab penyakit mematikan. Ayam-ayam mati, tumbuh-tumbuhan layu, dan populasi manusia mulai berkurang.
Jika sudah bermimpi seperti itu, nasehat ibu akan kembali
terngiang di telinga kami. Kami tidak ingin sampah mangacaukan kehidupan kami. Aku
bertekad akan selalu mebuang sampah pada tempatnya. Bahkan terkadang aku
memungut sampah milik orang lain yang tidak bertanggung jawab. Persetan apa
kata dan padangan orang lain yang melihatku seperti pemulung atau sebagainya. Jika
tidak di mulai dari sekarang, kapan lagi? Mau menunggu sampai alam
memperingatkan kita?
Tapi tidak lah efektif jika hanya keluargaku yang bertindak.
Oleh sebab itu aku mulai gencar mencanangkan aksi sosialku itu melalui media
sosial. Jaman sudah canggih, dan aku tidak mau sampah mengacaukan kecanggihan
itu. Lalu aku akan memulai aksiku itu dari kisah ibu tentang Dunia Kertas.
Keterangan:
Sebenarnya saya hanya ingin kita semua untuk lebih peduli terhadap lingkungan saja. Perkara sampah bukan hanya tentang bungkus permen atau batang rokok. Perkembangan jaman membuat teknologi melesat, namun juga menyisakan limbah yang tak kunjung terselesaikan permasalahannya. Mulai lah bijak dalam menggunakan barang agar tak menambah sampah di Bumi ini. Hidup ini indah jika tanpa kekacauan, bukan?
[Tantangan @KampusFiksi #PesanMoral]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar