Minggu, 11 Januari 2015

Dua Purnama

-Khaliffa POV-

Rambutku menggelitik geli ketika angin berhembus kencang. Mataku yang baru setengah terbuka langsung disambut silau matahri sore kala itu. Ah, rupanya aku tertidur. Di salah satu kursi tak beratap, tadinya aku mencoba membunuh waktu hingga kapal yang kutumpangi segera berlabuh. Tapi harapanku harus tertunda lebih lama lagi karena purnama belum memunculkan wujudnya di langit.

 

Kukibaskan rambut panjangku yang masih terombang-ambing angin layaknya ombak di lautan saat seseorang menghampiriku dan menyodorkan selembar selendang merah yang kukenal.

 

Aku mendongak dan mendapati seorang pria berdiri disana. “Punyamu?“

 

“Iya.” jawabku ketus seraya merebut kembali selendang yang sepertinya terbang selama aku ketiduran tadi.

 

Pria tinggi dan berkumis tipis itu menyeringai. “Tidak ada ucapan terima kasih?”

 

Aku mendengus sebal. Bukan karena teguran tadi. Tapi aku terlalu malas untuk meladeni pria asing yang kucurigai sebagai hidung belang tersebut. “Hmm, terima kasih.” jawabku sembari berdeham dan membuang muka.

 

Tanpa berkomentar lebih lanjut, pria itu akhirnya melangkah pergi. Mungkin putus asa karena tak berhasil menggoda gadis berumur tujuh belas tahun dan berparas cantik sepertiku, atau ia sedang mecari peluang lain agar dapat kesempatan untuk menemuiku lagi. Huh, membuatku semakin muak berlama-lama di atas kapal yang bergerak lamban ini.

 

Tiba-tiba perutku terasa lapar. Mungkin aku harus segera kembali ke kamar dan menemukan beberapa cemilan untuk disantap.

 

Kakiku melangkah lebar-lebar dan hentakan sepatuku mampu membuat penumpang lainnya yang sedang asyik menikmati matahari tenggelam di tepi kapal berpaling sejenak ke arahku. Termasuk si pria hidung belang tadi yang sekarang sedang menghirup nikmat sebatang rokok.

 
 

-Lutfi POV-

 

Ternyata menikmati matahari terbenam itu adalah hal yang tidak pernah membosankan. Apalagi di atas sebuah kapal besar yang angin nya membuat keringatku perlahan mengering. Meskipun sudah berlayar ribuan kali, aku tidak pernah melewatkan keindahan langit di kala senja. Suasana seperti ini akan lebih lengkap jika ditemani sebatang rokok yang hendak ku keluarkan dari saku ketika mataku tak sengaja tertuju pada sesuatu.

 

Kupungut selembar kain merah yang tadinya sibuk nenari-nari di pergelangan kakiku itu. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru dek kapal yang saat itu tak terlalu ramai dengan penumpang lain. Hanya ada beberapa pria sepertiku yang berdiri di tepi kapal, dan sisanya memilih untuk duduk-duduk di kursi yang telah disediakan sambil menyerumput secangkir kopi ataupun merokok. Lalu saat itulah tatapanku tertumbuk pada sesosok gadis yang sedang terlelap dengan rambut yang mengibas akibat angin kencang. Kemungkinan besar selendang merah tersebut adalah miliknya karena saat itu tidak ada gadis lain yang mungkin kehilangan benda seperti ini.

 

Kuputuskan untuk menghampirinya saat gadis itu terbangun dan mendongak ketika kusodorkan selendang merah tersebut. Dan tidak ada ucapan terima kasih yang kuharap akan keluar dari bibir tipisnya. Niat baikku itu malah dibalas dengan gumaman ketus dan sikap tak bersahabat, seolah-olah aku adalah seorang penjahat. Penampilanku memang urakan, tapi tak lantas menghilangkan rasa hormat seorang kaum muda terhadap pria berumur sepertiku, kan?

 

Kuputuskan untuk segera menjauh dan mungkin akan berpikir dua kali saat hendak berurusan dengan gadis angkuh sepertinya lagi.

 

-Khaliffa POV-

 

Makan malam bersama ayah bukan hal terbaik yang kuinginkan sekarang. Terlebih lagi di atas kapal yang semakin membuatku penat. Mungkin keputusanku ini salah. Memilih untuk ikut dengan ayah dan menetap di desa adalah sebuah bencana! Tapi bertahan dengan ibu yang tak layak dan tinggal di kota pun bukan solusi yang baik.

 

Aku kembali ke dek kapal, sekedar untuk menghindari ayah yang tak berhasil merubah suasana hatiku dan takjub seketika melihat indahnya purnama malam itu. Bulat sempurna dan bersinar di tengah langit yang tertutup awan gelap.

 

Suara tawa pendek seorang pria terdengar samar di telingaku. Aku menoleh ke samping dan menemukan kembali pria si pria hidung belang dengan sebatang rokok menyala yang dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengahnya. Senyuman di wajahnya seolah menambah kecurigaanku. “Anda mengikuti saya?”

 

Pria itu kembali terkekeh pelan. “Justru kamu yang mengikuti saya.”

 

Keningku berkerut heran. “Maksud Anda?”

 

Tapi pria itu hanya memiringkan kepalanya, terlihat berpikir. “Bukannya tadi sore selendangnya sudah dikembalikan? Lalu untuk apa kamu kembali kesini?”

 

“Memangnya tidak boleh?” tantangku tak mau kalah.

 

Pria itu kembali tersenyum. “Boleh saja. Tapi tempat ini lebih cocok bagi pria sepertiku untuk menghabiskan sebatang rokok.”

 

Rupanya koboi satu ini cerdik juga. “Aku hanya ingin melihat purnama. Puas?”

 

Ia mengangguk-angguk seraya menatap purnama di hadapannya. “Aku juga sedang menikmati keindahannya.”

 

AH, aku benar-benar kesal jika begini terus! “Baiklah. Anda mau saya pergi?”

 

“Tidak ada yang mengusirmu.”

 

“Lalu?”

 

“Aku hanya heran melihat gadis yang tadinya tidak tahu cara berterima kasih ternyata dapat mengagumi keindahan bulan purnama.”

 

Tunggu dulu. Pria ini sedang mengejekku, bukan?

 

“Rupanya masih ada hal-hal baik di dalam dirimu.” lanjutnya dengan nada menilai.

 

Ucapan tersebut tidaklah pantas keluar dari mulut pria asing sepertinya. Ayahku yang tidak lebih baik dalam hal mendidik saja belum pernah menilaiku seperti itu.

 

“Anda tidak berhak mengomentari gadis muda seperti saya. Paham?” Kesabaranku sudah hampir habis, namun koboi itu tetap saja tersenyum. Membuat wajahnya terlihat semakin menawan hanya dengan lengkungan tersebut.

 

“Ya. Saya memang tidak berhak. Maafkan saya.” gumamnya seraya menjatuhkan batang rokoknya dan menginjak ujungnya yang menyala hingga sulut api nya padam, lalu memungutnya kembali untuk di buang di tong sampah.

 

Semudah itu ia meminta maaf?

 

“Oh!” Pundaknya yang tadi sudah berbalik kini kembali menghadapku. “Dan terima kasih karena telah membuatku teringat dengan seorang gadis yang juga punya perangai buruk sepertimu.” Lalu langkahnya mulai menjauhiku yang termenung seorang diri di tepi kapal dengan pikiran yang tenggelam ke dalamnya lautan berkat ucapannya tadi.

 

-Lutfi POV-

 

Sungguh mirip. Dipandang dari samping pun wajah gadis selendang merah itu terlihat mirip dengan seseorang yang sedang menungguku di daratan sana. Purnama yang tadinya sudah kupandang cukup lama ternyata menarik perhatiannya juga. Tapi keangkuhan segera terlihat kembali di wajahnya saat menyadari kehadiranku. Lihat cara dia mencurigaiku. Kata-kata ketusnya malah membuatku senang. Aku terlalu rindu dengan sosoknya hingga secara tak sadar telah mengomentari hidup seorang gadis asing yang tidak kukenal tersebut. Aku pun melontarkan kata maaf sekaligus terima kasih, lalu kembali ke kamar dan menelepon seseorang.

 

“Masih ingat aku rupanya?” Tanpa ada sapaan, protes yang pertama kali terdengar itu malah membuatku tersenyum dan yakin bahwa aku telah menghubungi orang yang tepat.

 

“Iya. Aku merindukanmu, sayang.”

[Tantangan @Kampus Fiksi #KaramDalamKata]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar