Senin, 14 September 2015

A Miracle for Bianca

"Lalu, Jin itu pun berkata: Aku akan mengabulkan tiga permintaanmu, Aladin."

"Kenapa hanya tiga?"

Si mungil Rio yang baru berumur tiga setengah tahun dan sedang duduk di pangkuan ibunya itu pun bertanya heran. Saat itu, ibunya sedang membacakan dongeng tentang Aladin sebagai pengantar tidur.

"Karena Jin hanya mampu mengabulkan tiga permintaan," jawab ibu nya kalem.

Sejak malam itu, Rio-bocah yang cenderung berpikir kritis itu tidak menyukai si Jin botol yang hanya bisa mengabulkan tiga permintaan.

Menurutnya, Jin botol tidak lebih hebat dari Ayah dan Ibunya yang mampu mengabulkan apapun keinginannya.

Sejak lahir, kebutuhan Rio tak pernah berkekurangan karena kedua orang tuanya yang hidup sangat bercukupan. Kemampuan otaknya pun tak perlu diragukan lagi. Namun ada satu pertanyaan yang belum bisa dijawabnya.

"Kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?"

Satu pertanyaan sederhana itu terlontar oleh guru di sekolahnya. Saat itu, Rio yang masih berseragam merah-putih mengerutkan keningnya dan berpikir keras.

Ingin jadi apa dia kelak di masa depan?

Ia mengulangi pertanyaan itu sendiri dalam benaknya.

Ia ingin berkeliling dunia, menaiki kapal pesiar, memiliki pesawat pribadi, dan lain-lain. Tapi apa itu semua patut disebut cita-cita?

Rio enggan bertanya kepada orang tuanya karena menurutnya hal tersebut menyangkut masalah pribadi yang hanya bisa diselesaikannya seorang diri.

Namun hingga Rio mengganti warna seragamnya menjadi putih-biru pun ia belum menemukan jawabannya.

"Kamu masih belum tahu cita-citamu?"

Bianca, teman sekelasnya bertanya saat mereka mengisi kuisioner sekolah.

Rio pun menggeleng pasrah,membuat gadis itu terperangah.

"Hei, itu hanya perkara sederhana!"

Bianca adalah murid yang pandai. Keduanya selalu bergantian mengisi peringkat kelas setiap semesternya. Tapi Bianca tak sekritis Rio. Gadis itu lebih realistis dan memiliki rasa sosial yang lebih tinggi.

"Memangnya apa cita-citamu?" Rio bertanya ingin tahu.

Bianca menerawang sejenak. "Astronot!" serunya antusias.

Kening Rio berkerut heran. "Kenapa mau jadi astronot?"

"Supaya bisa ke luar angkasa!" jawab Bianca dengan senyum lebar.

Rio tidak mengerti dengan jalan pikir Bianca. Bukankah untuk bisa pergi ke luar angkasa tidak perlu repot-repot menjadi seorang astronot?

Rio bisa meminta ayahnya menyewa seorang pemilik pesawat ruang angkasa untuk membawanya menuju Mars.

Begitu SMA, Rio akhirnya memutuskan untuk sekolah ke luar negeri hingga mencapai kesuksesan di negeri Belanda tanpa memikirkan lagi perkara cita-cita, walaupun ia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat.

Di sela-sela kesibukannya, Rio mendapat pesan dari grup alumni SMP nya yang mengabarkan tentang acara reuni di Indonesia.

Tiba-tiba saja Rio teringat akan Bianca. Apa gadis itu berhasil menjadi astronot?

Rio sudah tak sabar untuk mengetahuinya dan segera membeli tiket pesawat menuju Indonesia.

Begitu tiba di acara reuni,Rio disambut hangat oleh teman-temannya. Namun tidak ada Bianca disana. Lelah mencari, Rio akhirnya bertanya ke salah satu temannya.

"Hei, dimana Bianca?"

"Dia tidak bisa datang kemari."

"Oh ya? Kenapa?"

Teman Rio itu menatapnya tak percaya. "Kamu tidak tahu?"

"Tahu apa?" Rio balik bertanya.

"Bianca mengalami gangguan penglihatan. Dia... buta."

Raut wajah Rio berubah seketika. Terkejut dan tak percaya. Semua teman-temannya juga bereaksi seperti itu saat mengetahuinya.

"Kamu tahu sekarang Bianca ada dimana?:

"Kata teman-teman yang lain, sekarang dia jadi aktivis di sebuah panti tuna netra.:

Berbekal jawaban Wilson, tak sulit bagi Rio untuk segera mencari tahu keberadaan Bianca.

Dengan keyakinan teguh, Rio pun melangkah masuk ke dalam panti yang memiliki halaman luas tersebut.

"Selamat pagi." Rio menyapa seorang wanita paruh baya yang kemudian memperkenalkan diri sebagai pemilik panti Pelangi tersebut.

"Jadi, kunjungan Pak Rio kemari adalah untuk bertemu Bianca?" tanya Bu Sinta.

"Iya, Bu. Benarkah Bianca menjadi aktivis disini?"

"Benar, Pak"jawab Bu Sinta saat membimbing Rio ke sebuah ruangan.

Di sana, sudah ada seorang gadis yang tersenyum tulus mengajarkan huruf Braile ke beberapa bocah tuna netra lainnya.

Itu lah Bianca. Wajah cerianya masih sama seperti dulu. Hanya saja,sorotan mata itu telah berubah.

"Bi, ini ada tamu. Katanya teman SMP mu. Namanya Rio." Bu Sinta berbisik di telinga Bianca.

Gadis itu awalnya terkejut. Namun senyumnya perlahan mengembang.

"Hai, Rio!" Suara ceria Bianca masih sama seperti dulu. Hal tersebut membuat hati Rio terasa hangat.

***

"Jadi, sudah berapa lama kamu tinggal disini?"

Saat ini Rio dan Bianca sedang duduk bersama di bangku taman belakang panti.

"Mungkin sekitar tiga tahun."

"Kalau boleh tahu, karena apa kamu...?"

Bianca tersenyum, paham benar dengan arah pertanyaan Rio. "Aku mengalami kecelakaan. Secara tidak sengaja."

Rio mendengarnya dengan kepala tertunduk. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika hal ini dapat menimpa Bianca.

"Aku berharap bisa menemuimu di acara reuni. Dan mengajakmu adu cerdas cermat," hibur Rio hingga keduanya tertawa.

Hening sejenak sebelum Bianca akhirnya melontarkan sebuah pertanyaan kepada Rio. "Jadi, kamu sudah tahu cita-citamu?"

Pertanyaan itu membuat Rio tertegun. Dan dengan helaan napas putus asa, ia pun menjawab, "Belum."

Bianca terlihat tak percaya. "Sampai sekarang?"

"Ya," jawab Rio apa adanya. Dia memang sudah mencapai kesuksesan. Lalu apa? Bukan hidup seperti itu yang diinginkannya. "Kamu sendiri?" Rio menyesali pertanyaannya yang mungkin akan menyinggung perasaan Bianca.

Namun raut wajah Bianca terlihat biasa saja. "Apa iya seorang yang buta menjadi astronot?"

Rio menggaruk keningnya salah tingkah. Lalu perlahan,merangkul pundak Bianca. "Sabar ya, Bi."

Bianca tetap tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak akan menyerah. Seandainya saja Jin di cerita Aladin itu nyata, mungkin aku sudah minta permohonan sama dia."

Rio langsung teringat akan dongeng yang pernah dibacakan oleh ibunya. Saat itu juga Rio seakan tersadar bahwa saat ini, kedua orang tuanya tak lebih hebat dari Jin yang hanya mampu mengabulkan tiga permintaan tersebut.

"Kalau diberi tiga permohonan, apa yang akan kau minta?" Rio melontarkan pertanyaan tersebut secara tak sadar.

"Aku tidak perlu tiga, Rio. Satu pun cukup untuk memohon sebuah keajaiban."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar